Percayalah Padaku
Oleh : Diska Amanda
Sinar mentari pagi terasa begitu hangat menerpa kulitku. Hembusan angin yang mengalir diantara helai rambutku pun terasa amat menyejukkan. Pagi ini aku melangkahkan kaki ke sekolah. Yah hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Tahun ajaran baru yang aku tunggu-tunggu. Yang berarti aku akan punya teman baru, buku baru, guru baru dan mungkin aku akan menemukan pacar baru.
Sebelas IPA B, inilah kelasku yang baru. Termasuk kelas unggulan dengan siswa siswi yang berkategori kutu buku. Aku masih bingung sampai sekarang, aku ini bukanlah orang yang hobi membaca apalagi belajar. Namun entah mengapa aku bisa sampai masuk di kelas unggulan ini. Mungkin hanya keberuntungan kecil.
Hari pertama di dalam kelas. Menurutku ini adalah kelas yang paling sunyi dan sepi. Entahlah, mereka hanya diam dan sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Aku memilih duduk di kursi ke dua dari depan agar bisa berkonsentrasi dalam menerima pelajaran. Hanya saja perasaanku tidak enak semenjak memasuki kelas. Di antara makhluk yang berada di dalamnya, ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasiku. Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari sepasang mata itu. Tapi tetap saja, aku merasa tidak nyaman dan salah tingkah.
Hari ini hari Sabtu. Hari terakhir aku bersekolah minggu ini. Jam telah menunjukkan pukul 12.00 dan waktu belajar telah selesai. Aku segera merapikan buku dan keluar kelas. Seperti biasa, aku menunggu kakak menjemputku. Aku menunggunya dibawah pohon, sambil menghindari terik matahari yang panasnya seperti berada tepat diatas kepalaku.
Dalam penantianku menunggu kakak, tiba-tiba datang seorang gadis yang berwajah manis dengan rambut indah, hitam, dan panjang menghampiriku. Berkulit putih, bermata cokelat, dan berhidung mancung. “Hai” sapanya. Aku tak langsung menjawab sapaannya itu. Sejenak aku terdiam karena aku kaget atas kedatangannya, jujur aku takut dia akan marah padaku. Karena selama ini dialah orang yang selalu memperhatikan aku. Sesaat kemudian lamunanku buyar oleh tangannya yang kini melambai-lambai persis di depan wajahku.
“Kok melamun?”
“Eh? Nggak kok. Aku nggak melamun. Kamu mau pulang?”
“Iya nih. Tapi supirku belum datang. Kamu lagi nunggu siapa disini?”
“Lagi nunggu kakakku. Biasanya dia yang jemput aku. Oh iya kamu sekelas kan sama aku? Nama kamu siapa? Kita belum sempet kenalan,” tanyaku panjang lebar.
“Oh iya, sampe lupa memperkenalkan diri. Aku Endita Hutama. Panggil Endita aja yah. Kalo kamu?” kata Endita sambil mengulurkan tangan.
“Aku Maya Khairani. Panggil Maya aja, Ta.” Kataku sambil membalas uluran tangannya.
“Eh kita punya PR Kimia kan? Aku belum punya bukunya nih. Kamu udah punya belum May?”
“Iya, ada PR Kimia tadi. Bukunya sih aku udah ada. Kamu mau pinjem? Tapi gimana nanti aku ngerjainnya? Gimana kalo kamu kerumah aku aja, Ta?”
“Kerumah kamu? Boleh juga. Tapi rumah kamu dimana, May?”
“Rumah aku deket kok dari sini. Emm.. gimana kalo nanti supir kamu udah dateng, kita langsung ke rumah aku?”
Dari sinilah awal perkenalanku dengan gadis yang selalu memperhatikan dan mengawasiku. Ternyata dia bernama Endita dan dia tidak seburuk yang kubayangkan. Dia cantik, ramah, dan juga menyenangkan.
Tidak terasa hari demi hari bergulir. Dua bulan yang lalu aku masih anak baru yang merasa kesepian. Namun kini aku telah memiliki sahabat, dan kami tak terpisahkan. Dimana ada Endita disitu pasti ada Maya. Sampai-sampai kami mendapat predikat “anak kembar”. Aku mengetahui semua kebiasaan baik dan buruknya, bahkan rahasianya. Sampai pada suatu saat dia bercerita kepadaku tentang seseorang di masa lalunya.
“May, aku mau tanya.”
“Tanya apaan, Ta?”
“Waktu pas pertama kali masuk sekolah, kamu ngerasa nggak kalo aku ngeliatin kamu?”
“Iya, Ta. Kenapa sih emangnya?”
“Kamu mirip saingan aku waktu SMP.”
“Hah! Saingan apa?”
“Saingan aku untuk dapetin seorang cowok, May.”
“Cerita dong ke aku.”
“Jadi gini May, pas jaman SMP dulu, aku suka banget sama cowok. Dia manis, pinter, baik dan termasuk populer diantara murid-murid. Tapi aku nggak memandang dia dari sisi manis atau populernya itu. Aku suka sama dia dari pertama kali kita ketemu. Aku sama dia nggak sengaja tabrakan waktu itu. Dia lagi bawa segelas ice cream yang akhirnya tumpah di baju aku. Emm ….”
“Ayo lanjutin, Taa.. Jangan sepotong-sepotong, aku mau cerita lengkap.”
“Oke.. Terus dia minta maaf sama aku. Jelas aku masih kesel soalnya baju aku jadi kotor semua. Tapi dengan gentlenya, dia langsung lari ke koperasi dan ngasih aku baju baru buat ganti. Menurut aku, dia itu perfect May.”
“Seperfect itukah dia dimatamu, Ta? Di mata seorang Endita? Trus endingnya gimana, Ta?”
“Udah ah jangan bahas dia lagi. Mending kita bahas yang lain aja.”
“Ahh Ditaa.. Kamu bikin aku penasaran,” wajahku memelas.
“Yeee.. Lagian kamu pengen tau aja deh.”
“Coba aja aku ini kaya Uya Kuya, jadi bisa hipnotis kamu.”
“Hahaha.. Kamu mah kaya dukun, May.”
“Dukun apaan?”
“Dukun beranak. Hahahaha.”
“Kamu tuh dukun beranak. Aku mah dukun cinta.”
“Ih kamu nggak lucu, May. Hahaha..”
“Yah aku digaringin. Nasib.”
Sepanjang obrolan, kami selalu tertawa dan bercanda. Kini aku mengerti mengapa dia menatapku dengan tatapan tajam waktu itu. Ternyata aku telah mengingatkannya pada seorang temannya di SMP yang menjadi saingan beratnya dalam memperebutkan Aldi, cowok keren plus pintar itu.
Tapi sayang, Endita tidak mau bersuara dan membahasnya lagi. Karena menurutnya itu menyakitkan. Aku dibuatnya penasaran. Tapi aku juga harus tetap menghargai keinginannya untuk tidak melanjutkan cerita yang merupakan kisah cinta masa lalunya. Keingintahuanku tidak berhenti sampai disitu saja. Aku berusaha mencari info lainnya. Selain ingin tahu, siapa tahu aku bisa memberikan sebuah kisah manis untuk sahabatku yang cantik ini. Setelah mengalami proses yang panjang disertai dengan sedikit bujuk rayuan, dia memberikan sedikit bocoran lagi kepadaku. Dia memberiku nomer handphone cowok pujaannya itu.
“Nih nomor handphonenya. Kamu telpon aja kalo kamu pengen kenal dia.”
Aku tahu kala itu perkataan Endita hanyalah gurauan saja.
Pada hari Minggu aku telah berusaha untuk menelpon Endita sebanyak sepuluh kali, namun tetap saja tidak ada jawaban. Entah kenapa ada sebuah ide konyol terlintas di kepalaku. Aku tekan nomor telepon Aldi. Sungguh diluar dugaanku, ternyata Aldi sesuai dengan gambaran yang Endita berikan padaku. Sambutannya begitu hangat dan bersahabat kepadaku, orang yang sama sekali belum dikenalnya. Dalam sekejap aku dapat membuat kesimpulan bahwa Aldi adalah cowok yang baik. Ajaibnya aku merasa nyambung ngobrol dengannya. Keesokan harinya aku menceritakan semua obrolanku dengan Aldi di telepon kepada Endita.
“Ta, kemaren aku nelpon Aldi.”
“Hah? Nelpon?”
“Iya, Ta. Persis kaya apa yang kamu bilang ke aku. Dia baik banget.”
“Oh.. Terus ?”
“Emm.. Dia sekolah di SMA Pelita Bangsa kan? Kamu udah tau belum, Ta?”
“Udah kok,” Endita mendengarkan ceritaku sambil membereskan tempat pensil yang ada di mejanya.
“Eh terus kamu gimana sama dia? Berhasil nggak waktu itu? Lanjutin usahanya sekarang aja, Ta.” Kataku bersemangat.
“Udah nggak usah, May. Dia kan masa lalu,” Endita menjawab dengan nada dan ekspresi datar.
“Ta, kamu kenapa? Kamu nggak suka aku nelpon dia yah? Cerita dong sama aku,” tanyaku mulai merasa bersalah.
“Nggak kok, nggak apa apa. Kenapa aku mesti nggak suka? Kamu kan berhak temenan sama siapa aja, May.” Endita tersenyum padaku.
Aku mengamati perubahan ekspresi di wajahnya. Senyum yang sepertinya dipaksakan dan hambar. Aku berusaha menceritakan semuanya. Tanpa ada yang tertinggal sedikitpun. Hal itu kulakukan karena aku tak ingin menyembunyikan apapun darinya.
Kedudukan matahari telah digantikan oleh bulan yang indah dan terang dilangit. Aku memandanginya, seolah aku ingin sekali bisa terbang dan duduk diatas permukaan bulan itu. Aneh. Padahal aku tahu bahwa permukaan bulan itu sama sekali tidak indah.
*kriiiiiiinggg* Angan-anganku tiba-tiba seperti hilang terbawa angin, nada panggil di handphoneku memecah kesunyian malam. Kulihat nama Aldi berkedip-kedip dilayar handphoneku. Ada apa dia menelponku? Segera kutekan tombol hijau di keypad handphoneku untuk menerima teleponnya.
“Halo, May?”
“Hai, Di. Ada apa nih?”
“Nggak ada apa-apa sih. Hanya ingin sekedar ngobrol denganmu saja.”
“Ah masa? Eh kamu dapet salam dari temen SMP mu.”
“Siapa?”
“Teman SMP kamu pokoknya. Ciee kamu punya banyak fans ya?” godaku.
“Sampaikan salam ku kembali padanya ya, May. Hahaha fans? Kamu kira aku ini Spiderman yang punya banyak fans?”
“Bukan spiderman. Tapi SUPARMAN.”
“May?? Hahahaha.. Kamu sedang bercanda? Kamu tau kan kalo aku ini Jaka Tarub?”
“Apa? Jaka Tarub? Lalu siapa bidadarinya?”
“Entah siapa. Aku sudah tak pernah melihat mereka lagi. Sepertinya mereka sudah tidak hobi mandi di telaga. Mereka lebih memilih salon sekarang.”
“Mana ada bidadari mandinya ke salon? Tanpa ke salon pun mereka sudah cantik. Kalo aku tuh baru pergi ke salon.”
“Udah malem ya, May? Aku takut ganggu ketenangan kamu nih. Mungkin cukup sampe sini aja obrolan kita malem ini yah.”
“Oh iya, Di. Jadi lupa waktu yah. Sabtu telepon lagi dong. Kamu bisa nggak? Nanti aku kenalin sama temen aku yang nitip salam itu.”
“Bisa. Yaudah Sabtu aku telepon lagi ya. Selamat malam.”
Seperti biasa, aku menceritakan semuanya kepada Endita. Tapi Endita seolah tidak percaya padaku mengenai rencana Aldi yang akan menelepon pada hari Sabtu.
Ketika hari Sabtu tiba, Aldi benar-benar meneleponku. Saat itu juga ada Endita disebelahku. Di telepon, aku dan Aldi tertawa, dan bercanda tanpa menghiraukan perasaan Endita. Entah karena kesal atau marah, Endita berusaha menggodaku dan berteriak. Aldi mengenali suara Endita, namun segera kututup dengan seribu alasan. Aku sadar bila segalanya terbongkar, kemungkinan besar rencana pertemuan Endita dengan Aldi yang telah ku susun akan batal dan informasi tentang dirinya akan terputus ditengah jalan. Pada akhirnya rencana ku agar Aldi dapat berbicara pada Endita di telepon gagal. Aku merasa sangat bersalah dan aku merasa seperti telah mengkhianati Endita.
Endita berubah semenjak itu. Dia menjauhiku. Sebenarnya aku kecewa. Tapi aku belum menyerah. Aku akan membuktikan semua usahaku padanya, meskipun dia tidak mempercayai dan menghargai usahaku. Dan kini kecurigaannya padaku sudah berada pada puncaknya. Dia mengungkapkan semuanya di kantin sekolah.
“Maya, Aku mau ngomong sama kamu.”
“Ada apa, Ta?”
“Aku akan bilang tentang semua kekonyolan kamu ke Aldi!” kata Endita dengan nada kesal.
“Maksud kamu?” aku mencoba tenang.
“Setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu masih belum sadar?” Endita memalingkan wajah.
“Sumpah, Ta. Aku nggak ngerti,” aku mulai bingung.
“Aku akan bilang yang sebenernya ke Aldi. Aku akan bilang sama dia kalo kamu cuma mau mainin dia aja.” Nada bicara Endita mulai meninggi.
“Hah? Aku nggak pernah ada niat buat mainin dia. Kenapa kamu bisa mikir kaya gitu sih, Ta?”
“Trus buat apa lagi?” tanyanya sinis.
“Ta, selama ini aku ngumpulin informasi tentang dia. Semuanya buat kamu. BUAT KAMU ENDITA! Apa kamu nggak bisa ngerti?”
“Apa buktinya? Bisa aja itu semua alesan kamu kan?” Endita tetap tidak percaya padaku.
“Terserah penilaian kamu, Ta. Terus terang, kamu tuh nggak pernah percaya sama aku. Apa ini yang namanya sahabat? Kamu selalu curiga. Aku sadar, mungkin kamu terlalu takut untuk kehilangan dia. Tapi aku sahabat kamu, Ta. Aku nggak akan ngambil sesuatu yang paling berharga dalam hidup kamu.”
“Aku udah berusaha percaya sama kamu. Dari pertama aku ketemu kamu. Tapi ternyata? Aku pengen kita kayak dulu lagi. Sahabatan tanpa masalah cowok, bahkan aku juga udah berusaha untuk nggak ngungkit masa lalu aku waktu SMP. Tapi kamu….?” Endita menangis.
Aku tak tahan melihatnya. Kupeluk dia. Dia menangis dalam pelukanku. Semua orang yang ada di kantin terheran-heran melihat kami berdua. Kubisikkan kata-kata damai dengan maksud untuk menghentikan isak tangisnya.
Keesokannya kami tetap berteman seperti biasa, bercanda, tertawa dan menggosipkan orang. Tapi tetap saja persahabatan kami terlihat kaku dan dibuat-buat. Malamnya setelah belajar, aku merapikan isi tasku, dan alangkah terkejutnya aku saat kutemukan sebuah surat di dalamnya. Ternyata surat itu dari Endita.
Kubaca isinya. Kata-katanya ditulis tangan dengan susunan kata rapi. Namun ada beberapa kata yang luntur. Mungkin Endita menangis saat menulisnya. Surat itu menceritakan segenap perasaan Endita. Dan ada seuntai kata yang membuat hatiku bagai teriris oleh sembilu, “…terus terang, May. Aku pernah berpikir kalau kamu suka sama dia atau dia yang suka sama kamu. Dan kalaupun itu terjadi, aku nggak akan mau bersaing dengan sahabat aku sendiri. Aku nggak mau nyakitin perasaan kamu, May. Biar aku aja yang mengalah….”
Air mataku tak dapat ku bendung lagi. Akhirnya air mataku mengalir deras dan membasahi pipiku. Aku hanya tak habis pikir. Dia rela melakukan semua itu untukku. Aku sadar, Aldi adalah cintanya. Dia telah menyimpan perasaannya sejak lama. Sejahat itukah aku pada sahabatku sendiri? Mampukah aku mengambil sesuatu yang teramat berarti baginya? Kulipat lagi surat itu, lalu kuambil kertas dan pena.
Nyatanya, aku tak mampu merangkai kata-kata. Yang kupikirkan, aku hanya ingin menjadi temannya dalam suka dan duka. Telah kuputuskan, aku tak akan perduli lagi dengan semua yang berkaitan dengan Aldi. Lebih baik kehilangan teman baru daripada kehilangan seseorang yang telah teramat dalam tersimpan di hati. “Endita, you’re the best of the best friend,” tulisku diakhir surat balasanku.
No comments:
Post a Comment